Malang, Abadinews.id - Sebagai orang jawa pastinya kita mengetahui dengan istilah Safaran, di setiap daerah terkadang mempunyai tradisi Safaran yang berbeda, tergantung daerah masing-masing, Sabtu (18/09/21).
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa pada umumnya, sifat bulan Safar hampir sama dengan bulan sebelumnya yang merupakan kelanjutan dari bulan Suro (Muharram).
Baca Juga: Kakang Mbakyu Malang, Wilujeng Kamulyan Bangkitkan Kampung 1000 Topeng
Tak terkecuali hari kamis kliwon malam jum'at legi (17/09) , kemarin Pokdarwis KGR (Kampung Gribig Religi) bertempat di destinasi komplek cagar budaya & pesarean Ki Ageng Gribig, menggelar event secara terbatas, yaitu "Mbabar Bubur Sapar."
Kegiatan Mabar Bubur Safar ini Adalah sebuah event promosi pariwisata Kota Malang yang berasal dari Kampung Tematik yang ada di Kota Malang. Kampung Gribig Religi (KGR) salah satunya Kampung wisata yang berbasis religi satu satunya Kampung yang paling ramai dikunjungi bagi para peziarah di Kota Malang. Tentu event ini tidak seramai dengan tahun sebelumnya, maklum karena masa Pandemi Covid-19 dimana Kota Malang PPKM masih lavel 3 maka kegiatan ini tidak bisa di kunjungi wisatawan.
Agus Ahmad Saichu Sekertaris KGR menyampaikan bahwa. "Safar ini mengingatkan pada kita semua, bahwa (bulan) sapar adalah bulan ke kedua dalam kalender jawa, bulan sapar setelah bulan pertama yaitu bulan suro."
Baca Juga: Kakang Mbakyu Kota Malang Hadiri Festival Panawijen KBP
Bubur sapar atau biasa kita menyebut "jenang grendul" berbentuk bundar-bundar, itu mengandung makna, ada kalanya siklus kehidupan manusia ada di atas, kadang ada pula di bawah. Jadi, seperti konsep bola (roda kehidupan).
Bahan untuk membuat bubur sapar adalah beras ketan. Sebagaimana kita tahu ketan adalah lekat atau "lengket" ini mengandung makna bahwa perbedaan apa pun dalam hal bermasyarakat tetap "lengket" atau erat dalam bersosialisasi dengan warga masyarakat yang lain. Sehingga ada harmonisasi dalam menjalani kehidupan ini. Lanjut agus yang juga merupakan sekertaris Forkom Pokdarwis Kampung Tematik Kota Malang.
Baca Juga: Parade Jajanan Lawas Kampung Heritage Kajoetangan
Ditempat terpisah Ki Demang yang merupakan Pengggas Kampung Budaya Polowijen memberikan tanggapan bahwa bulan safar sebenarnya banyak diyakini sebagai bulan yang penuh bencana, Bala malapetaka dan kesialan. "Mayoritas masyarakat Jawa hingga saat ini masih mempercayai bahwa bulan ini dipenuhi dengan hal-hal yang bersifat ketidakberuntungan."
Masyarakat Jawa sendiri yang beraliran kejawen, menganggap hari Rabu Legi pada bulan Safar dianggap sebagai hari yang jelek sekali sehingga tidak boleh dibuat bepergian, hari Rabu Pahing yang dipercaya sebagai Dina Taliwangke yaitu hari yang sebaiknya disirik (dihindari). Tambah pria yang bernama Asli Isa Wahyudi Ketua Forkom Pokdarwis Kampung Tematik Kota Malang. (Bejo)
Editor : hadi