Polemik

Terkait RUU HIP, Letjen TNI (Purn.) Yayat Sudrajat Angkat Bicara

avatar abadinews.id

Surabaya - Publik menyoroti dan menolak Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) karena tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme.

Karena memancing kegaduhan, dan banyak kontroversi, membuat pemerintah menunda pembahasan RUU tersebut.

Baca Juga: Wibisono: OTT KPK Tetap Harus Dilakukan, Sebagai Whistleblowing System

Lantas, ada apa dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila, dalam acara, Web Seminar (Webinar), atau seminar virtual yang digagas oleh Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), belum lama ini.

Penasehat DPP LPKAN Indonesia, Letjen TNI (Purn.) Yayat Sudrajat angkat bicara terkait polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila.

“Saya sekolah mulai dari SMP, SMA sampai dengan taruna itu dibekali Pancasila. Waktu di taruna, guru saya Prof. Dr. Nugroho Notosusanto seorang sejarawan. Jadi saya sedikit banyak tahu apa itu Pancasila,” katanya saat menjadi pembicara diskusi virtual “Ada Apa dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila”, belum lama ini.

Menurut Yayat, keliru bila ada pengaturan tentang Pancasila dalam bentuk undang-undang karena Pancasila sudah menjadi sumber hukum tertinggi atau philosophischegrondslag dari negara Indonesia.

“Sehingga semua yang terkait dengan hukum itu selalu melihat pada Pancasila. Kalau misalnya Pancasila didegradasi menjadi undang-undang apalagi haluan, ini kan sudah enggak benar,” katanya.

Yayat berpendapat penetapan Pancasila sudah bersifat final dan permanen. Pancasila menurutnya bukan undang-undang yang bisa dirubah konsep dan kerangkanya.

“Terkait Pancasila ini sudah final dari segi tatanan perundang-undangan. Yang sekarang paling penting bagaimana pengaplikasiannya untuk disosialisasikan kepada seluruh rakyat Indonesia supaya rakyat paham betul apa makna dari Pancasila bukan hanya sekadar butir-butirnya saja,” ungkap mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais).

Yayat mengeritik kemunculan istilah Trisila dan Ekasila yang bersumber dari pembahasan konsep Pancasila di masa lalu yang seharusnya sudah selesai.

“Ada apa Pancasila diperas menjadi Trisila menjadi Ekasila, saya ini pernah penataran P4, antara sila 1 dengan yang lain merupakan satu kesatuan yang utuh tidak bisa dipisah-pisahkan. Apalagi di situ disebutkan ada Ketuhanan yang Berkebudayaan, Masya Allah..,” ujarnya.

Baca Juga: Formas Ajak Warga Surabaya Menjaga Keamanan dan Ketertiban dari Serangan Gangster

Menurut pria yang pernah menjabat Sesmenko Polhukam itu, Pancasila dan Undang-Undang 1945 adalah pegangan yang tidak bisa diganggu. Kesalahan legislatif mengamandemen UUD 1945 menurutnya jangan sampai terulang dengan menggerogoti sila dalam Pancasila.

“Pancasila itu sudah ada di dalam Pembukaan UUD 1945 yang menurut guru saya, itu merupakan kaidah negara yang fundamental, tidak bisa diubah. Kalau sampai dirubah Pembukaan UUD 1945 itu sama dengan membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.

Ia juga mengkritisi kinerja DPR yang seolah bersepakat dengan RUU HIP tersebut.

“Saya kaget, katanya di DPR itu hanya 1 fraksi yang tidak setuju (RUU HIP) terkait dimasukkannya TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yaitu PKS. Saya jadi bertanya-tanya ada apa dengan DPR kita? Padahal kita berharap mereka itu benar mewakili rakyat dan betul-betul sensitif melihat permasalahan rakyat,” ungkapnya.

Yayat merasa heran dengan tidak dimasukkannya TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 sebagai konsideran dalam RUU padahal sudah ada fraksi yang menyampaikan usulan tersebut.

Baca Juga: Formas Ajak Warga Surabaya untuk Menjaga Keamanan dan Ketertiban dari Serangan Gangster

“Dengan tidak mau dimasukkannya TAP MPRS No. XXV itu saja membuat pertanyaan yang sangat besar ada apa?. Padahal itu sudah konsensus nasional kita tidak menghendaki lagi kejadian masa lalu; kejadian kelam terhadap G30S/PKI itu terulang lagi,” tandas Mantan Direktur Kontra Terorisme Deputi Bidang Kontra Intelijen BIN.

Sementara Ketua Umum DPP Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), R. Mohammad Ali menjelaskan, bahwa sejumlah organisasi kemasyarakatan keberatan dengan RUU itu, di antaranya MUI, NU, dan Muhammadiyah, serta LPKAN Indonesia.

Mohammad Ali menegaskan, jangan pernah lagi terjadi proses pendangkalan atau pembelokan makna Pancasila oleh kelompok-kelompok yang tidak paham akan Pancasila.

"Distorsi pemahaman dan peminggiran Pancasila amat berbahaya, bahkan bisa berpotensi memicu disintegrasi bangsa", tegas Ketua DPP LPKAN Indonesia.

Acara Webinar ini selain dihadiri Penasehat DPP LPKAN Indonesia, Letjen TNI (Purn.) Yayat Sudrajat, sebagai narasumber, juga dihadiri Ketua Dewan Penasehat DPP LPKAN Indonesia, Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, SH, Ketua Dewan Pembina DPP LPKAN Indonesia, Antasari Azhar, SH, M.H, Dewan Pembina DPP LPKAN Indonesia, DR. Wibisono, SH, MH, Ketua Dewan Pakar DPP LPKAN Indonesia Letjend TNI (Purn) Prof. Dr. Syarifuddin Tippe, S.IP,M. Si, Ketua Dewan Pengawas DPP LPKAN Irjen Pol. (Purn) Wisjnu Amat Sastro, S.H, M.H, Direktur Eksekutif DPP LKHAI (Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia) Hartadi Hendra Lesmana, SH. M.H, C.T.A, C.L.A, Dr. Dani Amrul Ichdan, SE. Msc (Tenaga ahli utama kepresidenan, kantor staff kepresidenan Republik Indonesia), dan Prof. DR. Suteki, SH., M.Hum Ahli Filsafat Pancasila Universitas Diponogoro Semarang. (*)

Editor : Redaksi

abadinews.id horizontal

Berita Lainnya

abadinews.id horizontal