Perempuan Sanggul Nusantara Ritual Megengan dan Nyadran di Polowijen

avatar abadinews.id
Para perempuan bersanggul ikuti megengan di kampung budaya polowijen
Para perempuan bersanggul ikuti megengan di kampung budaya polowijen

Malang, Abadinews.id - Tiga hari jelang bulan puasa, Sabtu, 10 April 2021 Kampung Budaya Polowijen menggiatkan kembali tradisi Megengan dan Nyadran Mapag Wulan Siam. Suasana ini nampak berbeda dari biasanya dimana tradisi megengan di beberapa tempat di laksanakan di masjid/mushola. Namun kali ini di KBP Megengan dan Nyadran dilaksanakan dan diikuti lebih dari 30 perempuan bersanggul dan berkebaya yang berasal dari Komunitas Perempuan Sanggul Nusantara yang datang dari Surabaya dan Malang.

Sebelumnya acara di buka dengan Tari Putri Jawi yang di tarikan oleh empat remaja KBP sebagai perlambang orang jawa mempunyai empat kiblat dalam memandang kehidupan. Acara di lanjutkan dengan Megengan Mapag wulan Siam yang di pimpin langsung oleh Ki Demang yang mengujubkan doa-doa Jawa di lengkapi dengan sesajian cok bakal, bubur putih merah, bubur palang, sego golong dan tidak ketinggalan apem curcum dan pisang sebagai hidangan khas Megengan.

Baca Juga: Kakang Mbakyu Kota Malang Ramaikan Festival Dolanan di Kampung Dolan

Menurut Ki Demang Penggagas Kampung Budaya Polowijen. Terdapat makna simbolis dari sesajian Kue Apem dan Pisang yang di hidangkan dalam megengan yang tidak lain adalah saling maaf-memaafkan antar sesama dalam rangka pensucian diri. Megengan mapag wulan siam dilaksanakan agar pada saat menjalankan ibadah puasa mendapatkan berkah rahmat dan ampunan.

Dikatakan bahwa keberadaan Kue Apem ini memiliki makna tersendiri dalam kaitannya dengan Megengan. Dalam pandangan atau filosofis Jawa, Kue Apem dilambangkan sebagai simbol permohonan ampun atau maaf atas berbagai kesalahan yang telah diperbuat, baik kesalahan kepada Sang Pencipta maupun kesalahan kepada sesama agar silaturahmi tetap terjaga.Sedangkan Megengan berasal dari bahasa Jawa 'megeng' yang berarti menahan diri, bisa diartikan sebagai puasa itu sendiri. Ungkap Pria dengan nama Asli Isa Wahyudi.

Tradisi Megengan dan Nyadaran sebenarnya merupakan hasil akulturasi budaya lokal dan budaya Islam. Sebelum kedatangan Agama Islam di Pulau Jawa melalui Walisongo, di zaman pemerintahan Majapahit juga bisa didapati tradisi serupa yang disebut dengan “Ruwahan“. Tradisi ini berkaitan dengan bulan Ruwah (bulan jawa yang bersamaan dengan bulan Sya’ban pada penanggalan Hijriyah). Istilah Ruwah dimaknai sebagai Arwah yang berarti Roh, dalam hal ini adalah Roh para leluhur dan nenek moyang. Tandasnya Pria dengan nama asli Isa Wahyudi.

Baca Juga: Finalis Kakang Mbakyu Kota Malang Ramaikan Festival Buk Gluduk

Diceritakan, Sunan Kalijaga berdakwah pada masyarakat Jawa di pedalaman (terutama Jawa Timur dan Jawa tengah bagian selatan) dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Salah satunya adalah merubah atau memodifikasi tradisi Ruwahan menjadi Tradisi Megengan. Biasanya sesajen dalam Ruwahan biasanya dikhususkan untuk arwah dan tidak boleh dimakan, pada megengan sesajen tersebut diganti dengan sedekah makanan yang dibagikan dan dimakan bersama.

Setelah acara Megengan selesai, acara dilanjutkan dengan Nyadran ke Makam Mbah Reni (Ki Tjondro Suwono) Empu Topeng Malang yang berasal dari Polowijen. Komunitas Perempuan sanggul Nusantara di ajak napak tilas untuk nyekar dan berdoa bersama mendoakan para perintis seniman Malang. Acara Nyadran dipimpin oleh Ki Supriyono, S.Sn dalang dan seniman tari topeng yang merupakan guru seni di KBP.

Baca Juga: Dikbud Kota Malang Gelar Anugrah Insan Budaya di Hari Pahlawan

Pada kesempatan itu Ries Handono Salah satu Inisiator Perempuan Bersanggul Nusantara menyampaikan “acara Megengan dan Nyadran wulan Siam di KBP sangat khidmat sarat penuh makna”. Pelestarian tradisi yang menjadi warisan budaya ini agar tidak luntur maka perlu di uri-uri di perkenalkan kembali kepada generasi muda agar tetap terjaga. Yang perlu di perkuat adalah semua sajian tersebut mampu memberikan makna sebagaimana yang sudah di uraikan oleh Ki Demang. Adapun komunitas perempuan bersanggul dan berkebaya lebih memberikan warna agar tradisi tradisi yang dijalankan sesuai dengan adat dan pakem orang Jawa.

“Kami berterima kasih kepada KBP sudah diterima berkunjung disini yang ternyata kampung ini penuh dengan nuansa budaya lokal banyak keseniannya dan kedepan akan bekerjasama untuk peningkatan pelestarian budaya” Ungkap pria yang berprofesi sebagai Arsitek . Acara di tutup dengan flashmop Tari Ragil Kuning tari topeng malang karya Ki Supriyono, S.Sn persembahan untuk KBP dan sontak semua perempuan yang berkebaya ikut menari bersama. (AD1)

Editor : hadi

abadinews.id horizontal

Berita Lainnya

abadinews.id horizontal