Webinar LPKAN Indonesia, Ada Apa Dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila

abadinews.id

Surabaya, Abadinews.id - Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tengah menjadi sorotan. Bahkan sejumlah politisi dan tokoh agama menganggap RUU HIP tersebut tidak memiliki urgensi untuk dibahas di masa pandemi.

Lantas, ada apa dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila, dalam acara, Web Seminar (Webinar), atau seminar virtual yang digagas oleh Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), belum lama ini.

Baca juga: Wibisono: OTT KPK Tetap Harus Dilakukan, Sebagai Whistleblowing System

Ketua Umum DPP Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), R. Mohammad Ali menyampaikan bahwa akhir- akhir ini kita sudah mendengar beberapa permasalahan terkait dengan RUU HIP yang dibicarakan di DPR. Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi sorotan publik beberapa waktu belakangan.

"Perdebatan soal RUU ini dipantik oleh protes dari sejumlah ormas Islam. Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Maka dengan RUU ini, Pancasila diturunkan hanya menjadi UU saja, padahal sebelumnya Pancasila lebih tinggi", ungkap Mohammad Ali.

Lanjut Mihammad Ali menjelaskan, sebagai umat beragama di Indonesia, mesti mengawal RUU HIP ini. Karena Pancasila inilah sebagai titik temu antara Islam, Hindu, Kristen, Budha, Kong Hu Cu, ada pada Pancasila.

Sejumlah organisasi kemasyarakatan keberatan dengan RUU itu, di antaranya MUI, NU, dan Muhammadiyah. Penolakan yang keras datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui maklumat mereka.

Mohammad Ali menegaskan, jangan pernah lagi terjadi proses pendangkalan atau pembelokan makna Pancasila oleh kelompok-kelompok yang tidak paham akan Pancasila.

"Distorsi pemahaman dan peminggiran Pancasila amat berbahaya, bahkan bisa berpotensi memicu disintegrasi bangsa", tegas Ketua DPP LPKAN Indonesia.

Ketua Dewan Penasehat DPP LPKAN Indonesia, Laksamana TNI (Purn.) Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan polemik RUU HIP sudah seharusnya disudahi. Kegaduhan yang berkembang di masyarakat menurut Tedjo harus ditangkap pemerintah sebagai masukan untuk menolak RUU.

“Karena timbul gejolak kemudian kita lihat pemerintah dalam hal ini presiden sudah arif, ini disarankan jangan dibahas, namun bahasanya ditunda sementara. Kalau kami-kami berharap bahwasanya ini tidak harus dipakai lagi, dibatalkan saja karena banyak kecurigaan dan kegaduhan masyarakat,” ungkap Tedjo ketika menjadi pembicara diskusi virtual, dengan tema “Ada Apa Dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila”.

Mantan Menko Polhukam, menuturkan Pancasila yang ada saat ini sudah bersifat final dan berasal dari buah pikir para pendahulu bangsa (Founding Fathers) yang sudah mempertimbangkan persatuan dan kesatuan.

Baca juga: Formas Ajak Warga Surabaya Menjaga Keamanan dan Ketertiban dari Serangan Gangster

Rumusan Pancasila tercatat sudah mengalami pembahasan sebanyak sembilan (9) kali mulai dari Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, Piagam Djakarta, Sidang BPU-PK, Sidang PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, UUD 1945, Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. II/MPR/1978.

“Kita tidak tahu ini dilatarbelakangi apa, tetapi Pancasila dalam prosesnya beberapa kali dibahas. Pada saat [konsep] Muhammad Yamin kemudian [pidato Soekarno] 1 Juni, kemudian Piagam Jakarta. Terakhir yang kita pakai sekarang ini yang menjiwai UUD 1945 di dalam pembukaannya,” ujarnya.

Penggodokan draft RUU menurutnya juga terkesan dipaksakan saat bangsa tengah berjuang menghadapi krisis corona.

“Di tengah pandemi ini DPR telah memunculkan polemik dengan rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Ini ditangkap oleh beberapa komponen masyarakat sesuatu hal yang agak aneh. Karena Pancasila ini sudah final ada apa lagi kita kukuh sekali dengan rencana Undang-Undang Ideologi Pancasila?”, tambahnya.

Ia mengatakan sosialisasi terhadap pengamalan Pancasila sebenarnya sudah dimulai di era orde baru dimana ada Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Saat itu program BP7 jalan tanpa keberadaan Undang-Undang dan pemerintah mampu mensosialisasikannya di tengah masyarakat.

Baca juga: Formas Ajak Warga Surabaya untuk Menjaga Keamanan dan Ketertiban dari Serangan Gangster

Dengan dibentuknya RUU HIP menurutnya akan menurunkan derajat Pancasila sebagai dasar negara. Hal itu menurutnya tidak etis dalam membangun semangat kebangsaan.

“Payung hukum ini tentu saja akan mendegradasi Pancasila itu sendiri. Karena Pancasila adalah dasar negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum. Karena semua undang-undang dasarnya dijiwai oleh semangat Pancasila”. tutur mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut

Dirinya berharap polemik RUU HIP disudahi tanpa melihat persoalan itu dalam tatanan politik praktis, melainkan kerangka keutuhan negara Republik Indonesia.

“Justru di sini anggota BPIP sendiri dari kalangan purnawirawan yakni Pak Try Sutrisno sendiri menolak. Kemudian rencana Undang-Undang ini juga banyak ditolak oleh ormas-ormas Islam. Nah ini justru akan menimbulkan kegaduhan dari semangat Pancasila itu sendiri, semangat kebersamaan, persatuan kemudian musyawarah dan mufakat, ini akan men-downgrade,” tandasnya.

Acara Webinar ini selain dihadiri Ketua Dewan Penasehat DPP LPKAN Indonesia Bpk. Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno, SH sebagai narasumber, juga dihadiri, Ketua Dewan Pembina DPP LPKAN Indonesia, Antasari Azhar, SH, M.H, Ketua Dewan Pakar DPP LPKAN Indonesia Letjend TNI (Purn) Prof. Dr. Syarifuddin Tippe, S.IP,M. Si, Ketua Dewan Pengawas DPP LPKAN Irjen Pol. (Purn) Wisjnu Amat Sastro, S.H, M.H, Direktur Eksekutif DPP LKHAI (Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia) Hartadi Hendra Lesmana, SH. M.H, C.T.A, C.L.A, Dr. Dani Amrul Ichdan, SE. Msc (Tenaga ahli utama kepresidenan, kantor staff kepresidenan Republik Indonesia), dan Prof. DR. Suteki, SH., M.Hum (Ahli Filsafat Pancasila Universitas Diponogoro Semarang) (*)

Editor : Redaksi

Peristiwa
Berita Terpopuler
Berita Terbaru