Penulis : Muhammad Affan Adzim
Beberapa tahun lalu Mahendra Cipta, sutradara yang juga penyair kelahiran Sumenep, pernah melontarkan gagasan tentang teater pesantren. Menurutnya, teater pesantren bukan semata pertunjukan teater oleh para santri di pesantren.
Baca Juga: Jawapes Group Gelar HUT LSM Jawapes Launching ke-13 dan Tritunggal Aji Laras
Teater pesantren adalah upaya mementaskan pesantren dalam ruang yang lebih terbuka. Ia sering menyampaikan gagasan ini di forum-forum kajian dan diskusi. Penulis juga telah mendengarkannya langsung beberapa kali.
Sebagian teman mungkin mengira Mahendra terinspirasi oleh teori dramaturgi Presentation of Self In Everyday Life besutan Erving Goffman. Atau mungkin juga ia telah berhasil mengambil satu pelajaran penting dari sejarah kebangkitan teater Eropa abad pertengahan.
Mahendra terus bergerilya dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu sanggar ke sanggar yang lain. Tak pernah berkompromi dengan hambatan dan kendala. Ia terus mempromosikan satu laku kehidupan pesantren ke atas panggung pertunjukan dengan latar audiens yang umum dan beragam.
Setidaknya, ini yang penulis saksikan langsung dari kiprahnya.
Baca Juga: Dukung Seniman Jatim, Ketua DPD RI Dorong Lahirnya Perda Penyelenggaraan Kesenian
Pesantren, menurutnya, adalah panggung teater yang sebenarnya, yang sejatinya. Pesantren adalah tubuh teater paling sublim, sejatining sejati di jagat bumi ini. Demikian yang Mahendra yakini selama ini.
Ia melihat sikap khidmat para santri, penghormatannya pada sang guru sebagai bahasa tubuh paling puitik sekaligus transenden. Penghormatan murid pada sang guru bukan sebentuk peng-kultusan manusia pada kedudukan Dewa. Penghormatan itu adalah manifestasi cinta murid kepada Sang Guru sebab risalah agama yang diemban atas perintah-Nya.
Enam tahun silam saat ia menggelar workshop Tubuh Zikir bersama teman-teman MSP dan Gendewa Instika, aktor kawakan Dr. Tony Broer yang juga terlibat berdecak kagum saat melihat langsung bagaimana para murid menjalani ritus kesantriannya di pesantren sehari-hari. ”Ini baru teater beneran! Di Jakarta gak ada yang kayak gini,” kelakarnya waktu itu.
Baca Juga: Gelar Wayang Kulit, Perkuat Sinergitas TNI-Polri dan Semakin Dekat dengan Masyarakat
Untuk menguji komitmennya, Mahendra kemudian melakukan ”uji coba teater”. Ia berproses bersama anak-anak sanggar dan beberapa komunitas. Ia segera terlibat atas penyutradaraan pentas Suluk Santri dan Kemelut Manusia karya M. Faizi di Sanggar Kotemang MA I Annuqayah. Ia juga menggarap naskah Baginda Santri karya M. Shalahuddin Warits, salah satu pendiri Kedai Islam Ritmik di Jakarta. Selain itu, ada juga naskah berjudul Menara Air Mata yang digali dari Burdah karya Imam Al Bushiri.
Dalam pencariannya, ia menemukan hakikat makna teater yang paling sejati. Ia telah berhasil menyingkap beberapa esensi dari sebuah pertunjukan. Bahwa, pentas kesejatian dalam kehidupan ini menurutnya adalah ”Teater Pesantren”.
*)Alumnus Teater Komedi Kontemporer UIN Malang (1997). Tinggal di Sabajarin, Guluk-Guluk, Sumenep
Editor : Redaksi