Malang, Abadinews.id - Malang adalah tergolong daerah paling tua di Jawa sehingga menyimpan banyak sejarah dengan catatan kejayaannya. Malang sebagai cikal bakal kerajaan besar di Jawa masih menyisakan beberapa benda, bangunan, struktur, Situs termasuk kawasan cagar budaya. Sebut saja masa kejayaan kerajan Kanjuruhan ada penggilan Candi Badhut. Sedangkan masa kerajaan Songosari masih tersisa Candi Jago dan candi Kidal, Selasa (07/09/21).
Berkaitan dengan pemanfaatan situs cagar budaya Ada banyak cara yang dilakukan oleh komunitas pelestari dan pecinta budaya. Salah satunya adalah belajar sejarah tentang situs cagar budaya. Minggu, 5 September 2021 Perkumpulan PBN (Perempuan Bersanggul Nasional) bertandang ke candi Jago dan Candi Kidal yang keduanya berada di Kecamatan Tumpang kabupaten Malang. Mereka sebagian besar adalah ibu-ibu bersanggul dan berkebaya dan sebagian lainnya para remaja ingin belajar tentang candi dan relief yang mengelilinginya.
Baca juga: Hari Jadi Jam'iyyah Sholawat Nurul Falah yang ke 1 di Bumiayu
Di sampaikan oleh Ries Handana Prawiradirja ketua PBN saat berkunjung ke situs-situs cagar budaya bahwa :”kunjungan ke peninggalan sejarah tidak sekedar untuk berwisata dan berfoto-foto saja akan tetapi selalu mempelajari latar belakang sejarah serta mempelajari cerita cerita yang ada di relief relief candi”. Tidak sekedar mengaguni keindahan arsitektur Candi akan tetapi berupaya mendapatkan data dan informasi tentang candi yang di kunjungi.
Saat di Candi Kidal rombongan PBN di temui oleh Ki Suryo juru pelihara Candi di jelaskan bahwa dalam susatra Jawa kuno, terdapat mitos yang terkenal di kalangan masrakyat, yaitu mitos Garudheya, seekor garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan tebusan air suci amerta (air kehidupan). Konon relief mitos Garudheya dibuat untuk memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya. Mitos Garudheya tertuang secara lengkap dalam relief di seputar kaki candi. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari sisi selatan.
Baca juga: Pemuka Lintas Agama Kota Batu Panjatkan Doa di Ritual Pawon Suro
Setelah itu rombongan bergeser ke candi Jago dan Ki Suryo kembali menceritakan banwa Salah satu relief Buddhistis yag ada di candi Jago adalah relief Kunjarakarna. Singkatnya, relief ini menceritakan tentang Kunjarakarna yang meminta kepada Hyang Wairocana untuk dapat mencapai pembebasan yang seutuhnya. Saat itu, Kunjarakarna yang sedang bertapa di gunung Semeru ingin bertemu Hyang Wairocana. Ki Suryo menjelaskan bahwa menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago atas perintah Raja Kertanagara ini berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi ayahandanya Raja Singasari ke-4, Sri Jaya Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. “Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari bahwa Candi Jago merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit,” terang Ki Suryo.
“Di relief candi tersebut dapat di katakan sangat mirip dengan gaya sanggul wanita-wanita bali pada saat ini” Ungkap Ries Handana Prawiradirja yang berprofesi sebagai seorang arsitek.Jawa. Saya menemukan di relief terdapat wanita mengenakan kemben dengan jarik yang diwiru dan dengan rambut disanggul, tata busana dan gaya rambut mirip sekali dengan tata busana dan gaya rambut perempuan majapahit yang dapat dilihat di patung-patung wanita majapahit koleksi Museum Empu Tantular.
Baca juga: Kirap Agung Jaranan Satrio Turonggo Jati Tampilkan Epos Budaya Panji
Sementara itu Sany Repriandini Koordinator PBN Malang Raya menyampaikan Pada relief candi banyak digambarkan bagaimana busana perempuan Jawa pada waktu itu. bagaimana bentuk bentuk sanggul ornamen motif kain dan jarik waktu itu, yang diharapkan dapat mengispirasi untuk desain2 jarik dan busana di masa depan tanpa tercabut dari akar budaya. “harapan kami setelah mendapatkan penjelasan dari relief candi ini, kami bisa melestarikan ragam busana yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa.” (Bejo)
Editor : hadi